![]() |
Dua cangkir Kopi |
Aku sama sekali tidak
membenci kopi tapi tidak juga mencintainya, perasaaanku biasa-biasa saja.
Bagiku dulu kopi hanya nikmat bila disajikan dengan sepiring pisang goreng, dan
kopi yang nikmat adalah kopi hitam yang dihaluskan bersama sepotong jahe. Tapi
itu hanya dapat aku nikmati di daerah asalku yaitu nyiur melambai. Kopi jahe
spesial dari saudara yang berasal kotamobagu, Sulawesi Utara membantuku untuk
menikmati kopi jahe.
Tapi semenjak bekerja
delapan tahun lalu, kopi itu tidak dapat kunikmati. Karena tugas ke luar daerah
dan berpindah-pindah membuat melupakan kopi dan beralih ke teh. Alasan lainnya
adalah termakan omongan orang. Kopi menurut orang-orang sekitar membuat jantung
berdebar-debar dan susah tidur. Akhirnya aku pun meninggalkan kopi.
Sekarang
hal itu berubah, semenjak menikah maka seorang pria menulariku dengan
kebiasaannya menikmati secangkir kopi. “Sayang, kayaknya enak kalau ada kopi”
kata-kata yang sama setiap pagi sesudah sarapan. Awalnya hanya secangkir kopi
untuk suamiku. Tapi lama kelamaan, bukan
hanya secangkir, setiap kali dia meminta membuatkan secangkir kopi maka tangan
ini otomatis mengambil dua cangkir kopi, yah satu untuk suami dan satu lagi
untuk diriku. Sekarang kopi menjadi teman yang baik, apalagi bila udara dingin
rasanya teh menjadi tidak cukup, secangkir kopi lebih nikmat dengan
keharumannya yang khas.
Benar
kata orang, bila menikah maka kebiasaan-kebiasaan teman hidup akan mempengaruhi
kita dan aku mengalaminya. Omongan orang yang mengatakan jangan minum kopi
karena bisa membuat jantung berdebar serta sulit tidur sama sekali tidak
terbukti. Suami dan aku sering menikmati kopi sebelum tidur tapi kami berdua
tetap merasa mengantuk, atau karena sama-sama bershio “bantal” maka kopi apapun
tidak akan mengalahkan rasa kantuk ketika kepala sudah menempel ke bantal. Begitu
juga dengan jantung berdebar-debar, sampai saat ini saya tidak mengalaminya,
justru rasanya kalau tidak menikmati kopi sehari saja maka kepala rasanya
cenat-cenut. Kopi sekarang menjadi bagian hidupku. Aneka kopi mulai dari kopi
hitam sampe cofeemix rasanya begitu nikmat.
Kebiasaaan ini hanya dilakukan
dirumah saja. Rasanya begitu sayang kalau menikmati kopi di cafe-cafe yang
eksklusif, sayang uangnya khan kopi yang bisa didapat dengan harga lima ribu/5
sachet bisa menjadi empat puluh ribu per cangkir dan itu pun cangkir yang imut, gak pas dan gak enak sama mata(baca mata
pencaharian). Walaupun katanya di kafe kopinya dari gunung antah berantah,
digiling dengan tekhnologi modern tapi menikmati kopi di rumah masih lebih
nikmat. Entah nantinya akan berubah pendapat saya ini, mungkin nanti beberapa
tahun lagi atau tetap dengan pendapat yang sekarang yaitu menikmati kopi
dirumah tetap lebih baik, lebih mesra dan yang “penting” lebih hemat
Sekarang
bisakah aku mendapat gelar “pecinta kopi”? Rasanya belum cukup, aku hanya
belajar untuk menikmati seteguk demi seteguk, sama seperti menikmati kehidupan
yang sama seperti kopi, terasa pahit tapi diselingi manisnya gula. Kita tidak
dapat merasakan sekaligus, tapi harus menikmati prosesnya. Untuk penilaian sementara aku tetaplah bukan
seorang pecinta kopi.
(Tulisan ini untuk berpartisipasi dalam GA Lisa Gopar Lomba menulis artikel "Penulis dan Kopi")
2 komentar:
Terima kasih Partisipasinya
Good Luck :)
Salam,
Lisa Gopar
Hmmmm..ritual favoriteku adalah malam hari setelah semuanya beres,maksudnya beres makmal beres mandi, kemudian diteras membicarakan kejadian seharian masing2 dan ditemani secangkir kopi.hmmmmm nikmeh :)
Aq follow ya blognya.follow balik ya mak.
Posting Komentar
Terima kasih telah mampir di blog ini. Komentar anda untuk perbaikan blog sangat diharapkan. Dilarang memberi komentar yang mengandung SARA dan menyerang pribadi seseorang. Jadilah pembaca dan pengkritik yang bijaksana