Pages

20130414

Sepenggal cerita seseorang “bukan pecinta kopi”

www.nathaliacornelis.com
Dua cangkir Kopi

Aku sama sekali tidak membenci kopi tapi tidak juga mencintainya, perasaaanku biasa-biasa saja. Bagiku dulu kopi hanya nikmat bila disajikan dengan sepiring pisang goreng, dan kopi yang nikmat adalah kopi hitam yang dihaluskan bersama sepotong jahe. Tapi itu hanya dapat aku nikmati di daerah asalku yaitu nyiur melambai. Kopi jahe spesial dari saudara yang berasal kotamobagu, Sulawesi Utara membantuku untuk menikmati kopi jahe.
Tapi semenjak bekerja delapan tahun lalu, kopi itu tidak dapat kunikmati. Karena tugas ke luar daerah dan berpindah-pindah membuat melupakan kopi dan beralih ke teh. Alasan lainnya adalah termakan omongan orang. Kopi menurut orang-orang sekitar membuat jantung berdebar-debar dan susah tidur. Akhirnya aku pun meninggalkan kopi.
Sekarang hal itu berubah, semenjak menikah maka seorang pria menulariku dengan kebiasaannya menikmati secangkir kopi. “Sayang, kayaknya enak kalau ada kopi” kata-kata yang sama setiap pagi sesudah sarapan. Awalnya hanya secangkir kopi untuk suamiku.  Tapi lama kelamaan, bukan hanya secangkir, setiap kali dia meminta membuatkan secangkir kopi maka tangan ini otomatis mengambil dua cangkir kopi, yah satu untuk suami dan satu lagi untuk diriku. Sekarang kopi menjadi teman yang baik, apalagi bila udara dingin rasanya teh menjadi tidak cukup, secangkir kopi lebih nikmat dengan keharumannya yang khas.
Benar kata orang, bila menikah maka kebiasaan-kebiasaan teman hidup akan mempengaruhi kita dan aku mengalaminya. Omongan orang yang mengatakan jangan minum kopi karena bisa membuat jantung berdebar serta sulit tidur sama sekali tidak terbukti. Suami dan aku sering menikmati kopi sebelum tidur tapi kami berdua tetap merasa mengantuk, atau karena sama-sama bershio “bantal” maka kopi apapun tidak akan mengalahkan rasa kantuk ketika kepala sudah menempel ke bantal. Begitu juga dengan jantung berdebar-debar, sampai saat ini saya tidak mengalaminya, justru rasanya kalau tidak menikmati kopi sehari saja maka kepala rasanya cenat-cenut. Kopi sekarang menjadi bagian hidupku. Aneka kopi mulai dari kopi hitam sampe cofeemix rasanya begitu nikmat. 
Kebiasaaan ini hanya dilakukan dirumah saja. Rasanya begitu sayang kalau menikmati kopi di cafe-cafe yang eksklusif, sayang uangnya khan kopi yang bisa didapat dengan harga lima ribu/5 sachet bisa menjadi empat puluh ribu per cangkir dan itu pun cangkir yang  imut, gak pas dan gak enak sama mata(baca mata pencaharian). Walaupun katanya di kafe kopinya dari gunung antah berantah, digiling dengan tekhnologi modern tapi menikmati kopi di rumah masih lebih nikmat. Entah nantinya akan berubah pendapat saya ini, mungkin nanti beberapa tahun lagi atau tetap dengan pendapat yang sekarang yaitu menikmati kopi dirumah tetap lebih baik, lebih mesra dan yang “penting” lebih hemat
Sekarang bisakah aku mendapat gelar “pecinta kopi”? Rasanya belum cukup, aku hanya belajar untuk menikmati seteguk demi seteguk, sama seperti menikmati kehidupan yang sama seperti kopi, terasa pahit tapi diselingi manisnya gula. Kita tidak dapat merasakan sekaligus, tapi harus menikmati prosesnya. Untuk penilaian sementara aku tetaplah bukan seorang pecinta kopi.
(Tulisan ini untuk berpartisipasi dalam GA Lisa Gopar Lomba menulis artikel "Penulis dan Kopi")




 

Copyright © Warna-warni Cerita. Template created by Volverene from Templates Block
WP by WP Themes Master | Price of Silver